Oleh: Dr. Junaidi Raupele, SE, M.Si.
Akhir tahun kerap menjadi momentum refleksi bagi lembaga publik dalam menilai capaian sekaligus kekurangan kinerja. Dalam konteks penegakan hukum di Pulau Buru, Kejaksaan Negeri (Kejari) Buru patut mendapat apresiasi atas upayanya memberantas tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2025.
Berdasarkan keterangan resmi Kejari Buru dalam konferensi pers 9 Desember 2025, tercatat delapan perkara korupsi telah ditangani. Empat di antaranya telah berkekuatan hukum tetap, tiga masih dalam proses persidangan, dan satu berada pada tahap penyidikan. Lebih dari itu, Kejari Buru juga berhasil memulihkan kerugian negara senilai lebih dari Rp10 miliar melalui penyitaan, pemblokiran aset, serta pengembalian kerugian negara oleh para terpidana.
Capaian ini menunjukkan adanya keseriusan aparat penegak hukum dalam menjaga integritas keuangan negara dan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Bagi masyarakat Kabupaten Buru dan Buru Selatan, keberhasilan tersebut menjadi sinyal positif bahwa harapan akan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi bukan sekadar slogan.
Namun demikian, apresiasi tidak boleh menutup ruang kritik. Justru kritik yang konstruktif diperlukan agar penegakan hukum semakin kuat, transparan, dan akuntabel.
Lembaga Pelayanan Publik dan Pengawasan Pembangunan Pulau Buru (LP4PB) mencatat adanya kekurangan dalam penyampaian informasi publik oleh Kejari Buru. Dalam paparan kinerjanya, Kejari Buru belum mengungkapkan jumlah perkara yang masih mengendap atau backlog dari tahun-tahun sebelumnya. Padahal, data tersebut penting untuk mengukur kinerja secara menyeluruh, menilai tingkat penyelesaian perkara, serta memastikan tidak ada kasus yang mandek tanpa kejelasan hukum.
Ketiadaan informasi mengenai backlog perkara berpotensi menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat, terutama terkait transparansi dan akuntabilitas internal kejaksaan.
Selain itu, LP4PB juga menyoroti belum adanya respons resmi Kejari Buru terhadap laporan terkait dugaan penyimpangan Bantuan Tugas Belajar Dokter Spesialis. Isu ini tidak sekadar persoalan administrasi, tetapi menyangkut langsung keberlangsungan pelayanan kesehatan masyarakat, pemanfaatan anggaran daerah, serta tanggung jawab moral pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tenaga medis di Pulau Buru.
Penanganan perkara yang berdampak langsung pada sektor kesehatan, pendidikan, dan pelayanan dasar seharusnya menjadi prioritas, mengingat efeknya yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.
Ke depan, LP4PB mendorong Kejari Buru untuk membuka data backlog perkara secara transparan, memberikan perkembangan resmi terhadap laporan masyarakat, serta membangun komunikasi yang lebih intens dan konstruktif dengan lembaga pengawasan publik. Penegakan hukum yang terbuka bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk membangun kepercayaan publik.
LP4PB menegaskan komitmennya untuk terus menjalankan fungsi kontrol sosial dan pengawasan pembangunan. Sebab, hanya dengan penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik, Pulau Buru dapat melangkah menuju masa depan yang bersih, berintegritas, dan berkeadilan.(UK)

