Detik.sbs / Jakarta — Di tengah upaya nasional menangani bencana besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ruang publik sempat diwarnai polemik mengenai konsistensi aktivisme seorang konten kreator yang kerap memgkritik berbagai kebijakan di Medsos. Pengamat kebijakan publik Martin Aprildo menilai perdebatan tersebut justru mengaburkan fokus utama bangsa saat ini, menyelamatkan warga terdampak dan menjaga persatuan sosial.
Martin menyoroti keras fenomena standar ganda yang muncul dari sejumlah figur publik yang vokal dalam isu lingkungan namun diduga terlibat dalam aktivitas bisnis yang berpotensi bertolak belakang.
Ia menilai kritik sebagian aktivis menjadi tidak kredibel ketika bertentangan dengan aktivitas profesionalnya.
“Lucu nih orang ngomong soal deforestasi, krisis lingkungan dan kerusakan alam, seolah jadi si paling peduli. Merasa yang paling keras teriak soal kerusakan akibat sawit, tapi ternyata justru berbisnis di sawit. Nah, loh, jadi standar ganda nih,” katanya di akun resmi media sosialnya.
Martin kemudian mengingatkan bahwa persoalannya bukan pada pro atau kontra industri tertentu, melainkan soal integritas moral.
“Ini bukan soal pro atau kontra sawit, ini soal konsistensi. Kalau masih cari makan dari sawit, ya enggak usah juga terlalu keras di kamera,” ujarnya.
Di tengah sorotan tersebut, nama Virdian Aurellio — mantan Ketua BEM Universitas Padjadjaran (Unpad) 2022 — menjadi pusat perdebatan. Dikenal sebagai figur muda yang vokal mengkritik pemerintah dan industri ekstraktif, Virdian kini dipertanyakan publik setelah keterlibatannya dalam PT Digdaya Agro Indonesia terungkap.
Aktivitas bisnisnya pada Perusahaan yang bergerak di bidang survei dan analisis lahan menggunakan drone, teknologi yang umum dipakai di sektor pertanian dan perkebunan, termasuk pemetaan untuk pembukaan atau pengelolaan lahan sawit.
Keterlibatan tersebut menjadi sorotan karena dinilai kontradiktif dengan kritik keras Virdian selama ini terhadap industri sawit dan praktik deforestasi. Terlebih, perusahaan tempat ia terlibat disebut menjalin kerja sama dengan entitas perkebunan negara di Sumatera, wilayah yang saat ini justru sedang membutuhkan solidaritas nasional akibat bencana hidrometeorologi.
Di tengah gaduhnya isu personal ini, para pengamat mengingatkan agar publik tidak terjebak pada polarisasi baru. Musibah besar yang menimpa jutaan warga Sumatera memerlukan fokus penuh, bukan penggerusan energi yang tidak perlu dari perdebatan yang bersifat individu.
